Disampaikan di LP Sukamiskin 16 Juni 2015
Tujuan asasi penegakan hukum adalah
tercapainya keadilan. Namun, dalam prakteknya, hukum dan keadilan
berjalan saling menjauh. Kapan itu terjadi? Ketika norma dan prosedur
tidak berjalan sepenuhnya. Ketika kepentingan dan subjektivitas
mengalahkan objektivitas, maka hukum dan keadilan saling menjauh.
Korupsi di Indonesia ini telah dikukuhkan sebagai extra ordinary crime.
Pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas bertahun-tahun. Kendati
korupsi telah dicanangkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi
pemberantasan korupsi harus tetap berada dalam ranah untuk mencapai
keadilan. Jika tidak, ia dapat menjadi peperangan yang tidak terkendali.
Pemberantasan korupsi justru merusak norma dan tatanan hukum itu
sendiri.
Fenomena peradilan kasasi korupsi memberikan hukuman yang lebih berat
(tidak jarang dua kali lipat) beberapa tahun terakhir. Terdakwa korupsi
yang mencari keadilan dihukum dengan pasal sama yang diterapkan oleh
hakim di tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dan tingkat banding
(Pengadilan Tinggi).
Timbul pertanyaan besar ketika pencari keadilan kasasi diberi hukuman
yang berlipat ganda. Apakah majelis Kasasi yang berdasarkan Judex Juris (hanya
memeriksa penerapan pasal hukum), lebih mengetahui fakta-fakta dan
bukti dibandingkan hakim Tipikor dan hakim Pengadilan Tinggi yang
menangani langsung pengadilan fakta dan bukti secara seksama (Judex Facti).
Tatanan hukum di seluruh penjuru dunia tidak pernah mengenal
peradilan Kasasi yang dapat memberikan hukuman dua kali lipat lebih
berat dibandingkan putusan peradilan sebelumnya. Fenomena ini hanya
terjadi di Indonesia. Anomali ini hanya dilakukan oleh satu orang hakim
agung yang bernama ARTIDJO ALKOTSAR.
Anas Urbaningrum, korban ke-20
Minggu lalu, majelis hakim kasasi pimpinan ARTIDJO melipatgandakan
hukuman Anas Urbaningrum (AU) menjadi 14 tahun dengan menggunakan pasal
sama yang diterapkan hakim Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi
(PT). Seolah-olah ARTDIJO lebih paham fakta dan bukti perkara AU
dibandingkan hakim PN dan PT. Padahal majelis hakim banding di tingkat
PT, melalui pemeriksaan seksama terhadap fakta dan bukti sesuai
kewenangannya dalam judex facti, memutuskan meringankan hukuman AU karena posisinya sangat jauh dari Hambalang.
Uniknya, dari semua kasus terkait Hambalang, ARTIDJO “hanya” bersedia
menangani perkara AU dan cenderung menghindari terdakwa yang lain.
Selain ini akhirnya menyebabkan perbedaan hukuman pada seluruh terdakwa
terkait Hambalang. Hal ini tentu saja menjerumuskan kredibilitas MA.
Publik bertanya apakah ada pihak luar yang mengorder ARTIDJO? AU dan
korban-korban ARTIDJO sebelumnya, seperti Lutfi Hasan Ishaq, Angelina
Sondakh, Budi Mulya, Sumita Tobing, Hotasi Nababan, dr Bambang Suprapto,
dan banyak lagi yang lain berhak untuk mencari keadilan bagi dirinya.
Mereka berhak tahu apa alasan ARTIDJO memperberat hukuman. Apakah alasan
itu didasari oleh murni hukum atau di luar hukum?
Palu Kebencian Seorang ARTIDJO
ARTIDJO kerap mengekspresikan kebenciannya yang mendalam terhadap
korupsi dan terdakwa korupsi di media. Ada sejumlah kesaksian menyebut
ARTIDJO tidak pernah membaca berkas perkara. Bahkan ada yang menyatakan
bahwa ARTDIJO telah memutus perkara bahkan sebelum berkasnya masuk,
berdasar kebenciannya yang menyala-nyala.
Bagi seorang hakim, kebencian tidak boleh menjadi dasar memutuskan
sebuah perkara. Sikap ini hanya akan menjadikan dirinya seorang hakim
yang tidak profesional. Padahal kapabilitas bagi seorang hakim sama
pentingnya dengan moral dan integritasnya.
Kebencian sangat dekat dengan ketidakadilan. Pesan itu telah
mengkristal dalam spirit semua tradisi dan diperkokoh dalam pesan ajaran
agama. Disebutkan dalam firman Allah Swt: “Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. al-Maidah (5): 8].
Sebagai hakim, ARTIDJO semestinya sadar bahwa posisinya adalah
sebagai “wakil Tuhan” dalam penegakkan kebenaran dan keadilan. Bukankah
Allah juga berfirman: dan apabila (kamu) menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil [QS. Annisa (4): 58].
Kebencian tidak boleh menjadi dasar hakim untuk membuat putusan dan
juga kapabilitas. Kapabilitas juga terkait dengan kemampuan fisik dan
pengetahuan. Kekurangan dalam kemampuan fisik (penglihatan) juga dapat
mempengaruhi kemampuan lain yang berkaitan dengan kecakapan yang
diperlukan seorang hakim. Hal ini diperkuat oleh terjadinya beberapa
putusan kasasi dimana ARTIDJO—yang banyak mendapatkan tepuk tangan dan
pujian dari publik yang awam hukum—ternyata salah dalam membuat
keputusan.
Pada kasus yang melibatkan terdakwa Kurnia Sakerebau tahun 2013,
ARTIDJO salah membuat keputusan, sehingga terpaksa harus dikoreksi MA
dalam PK. Pada kasus yang melibatkan terdakwa Sumita Tobing tahun 2012,
terjadi berkas perkara yang tertukar dengan terdakwa lain. Lebih konyol
lagi pada kasus yang melibatkan terdakwa dr Bambang Suprapto tahun 2014,
ARTIDJO menerapkan pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
Ironisnya, ARTIDJO dan para pendukungnya menantang (mengejek) para
terdakwa mengajukan kasasi hanya untuk diperberat hukumannya. ARTIDJO
mengirimkan pesan pesan “ancaman” agar para terdakwa yang tengah mencari
keadilan untuk tidak nekad mengajukan Kasasi. Tidak jarang, ancaman
ini membuat para terdakwa mengurungkan niatnya mencari keadilan akibat
“ancaman” ARTIDJO.
Mahkamah Agung memiliki fungsi sebagai terminal akhir bagi semua
warga negara untuk mencari keadilan. Ketika ARTIDJO mendeklarasikan
dirinya sebagai satu-satunya pemilik hukum, maka pada titik inilah Artidjo telah menutupi jalan para pencari keadilan.
Ia menghambat para pencari keadilan memenuhi hak asasinya untuk
mendapatkan keadilan sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi. Jika
situasi ini dibiarkan, tidak bisa dibayangkan besarnya kerusakan hukum
dan pelanggaran HAM yang akan terjadi di negeri ini, mengingat ARTIDJO
adalah seorang hakim agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung.
Berdasarkan pandangan yang kami sebutkan diatas, maka kami bersepakat
bahwa hukum tidak boleh dijalankan dengan kebencian. Upaya mendapatkan
keadilan dan persamaan di depan hukum adalah hak asasi yang tidak boleh
dilanggar dan dibatasi oleh siapapun. Untuk itu petisi ini bertujuan untuk agar palu kebencian ARTIDJO harus diakhiri, sekarang juga.