Selasa, 30 Juni 2015

PETISI KEADILAN UNTUK SEMUA

Disampaikan di LP Sukamiskin 16 Juni 2015

Tujuan asasi penegakan hukum adalah tercapainya keadilan. Namun, dalam prakteknya, hukum dan keadilan berjalan saling menjauh. Kapan itu terjadi? Ketika norma dan prosedur tidak berjalan sepenuhnya. Ketika kepentingan dan subjektivitas mengalahkan objektivitas, maka hukum dan keadilan saling menjauh.

Korupsi di Indonesia ini telah dikukuhkan sebagai extra ordinary crime. Pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas bertahun-tahun. Kendati korupsi telah dicanangkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi pemberantasan korupsi harus tetap berada dalam ranah untuk mencapai keadilan. Jika tidak, ia dapat menjadi peperangan yang tidak terkendali. Pemberantasan korupsi justru merusak norma dan tatanan hukum itu sendiri.

Fenomena peradilan kasasi korupsi memberikan hukuman yang lebih berat (tidak jarang dua kali lipat) beberapa tahun terakhir. Terdakwa korupsi yang mencari keadilan dihukum dengan pasal sama yang diterapkan oleh hakim di tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dan tingkat banding (Pengadilan Tinggi).

Timbul pertanyaan besar ketika pencari keadilan kasasi diberi hukuman yang berlipat ganda. Apakah majelis Kasasi yang berdasarkan Judex Juris (hanya memeriksa penerapan pasal hukum), lebih mengetahui fakta-fakta dan bukti dibandingkan hakim Tipikor dan hakim Pengadilan Tinggi  yang menangani langsung pengadilan fakta dan bukti secara seksama (Judex Facti).

Tatanan hukum di seluruh penjuru dunia tidak pernah mengenal peradilan Kasasi yang dapat memberikan hukuman dua kali lipat lebih berat dibandingkan putusan peradilan sebelumnya. Fenomena ini hanya terjadi di Indonesia. Anomali ini hanya dilakukan oleh  satu orang hakim agung yang bernama ARTIDJO ALKOTSAR.

Anas Urbaningrum, korban ke-20

Minggu lalu, majelis hakim kasasi pimpinan ARTIDJO melipatgandakan hukuman Anas Urbaningrum (AU) menjadi 14 tahun dengan menggunakan pasal sama yang diterapkan hakim Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT). Seolah-olah ARTDIJO lebih paham fakta dan bukti perkara AU dibandingkan hakim PN dan PT. Padahal majelis hakim banding di tingkat PT, melalui pemeriksaan seksama terhadap fakta dan bukti sesuai kewenangannya dalam judex facti, memutuskan meringankan hukuman AU karena posisinya sangat jauh dari Hambalang.

Uniknya, dari semua kasus terkait Hambalang, ARTIDJO “hanya” bersedia menangani perkara AU dan cenderung menghindari terdakwa yang lain. Selain ini akhirnya menyebabkan perbedaan hukuman pada seluruh terdakwa terkait Hambalang. Hal ini tentu saja menjerumuskan  kredibilitas MA. Publik bertanya apakah ada pihak luar yang mengorder ARTIDJO? AU dan korban-korban ARTIDJO sebelumnya, seperti Lutfi Hasan Ishaq, Angelina Sondakh, Budi Mulya, Sumita Tobing, Hotasi Nababan, dr Bambang Suprapto, dan banyak lagi yang lain berhak untuk mencari keadilan bagi dirinya. Mereka berhak tahu apa alasan ARTIDJO memperberat hukuman. Apakah alasan itu didasari oleh murni hukum atau di luar hukum?

Palu Kebencian Seorang ARTIDJO

ARTIDJO kerap mengekspresikan kebenciannya yang mendalam terhadap korupsi dan terdakwa korupsi di media. Ada sejumlah kesaksian menyebut ARTIDJO tidak pernah membaca berkas perkara. Bahkan ada yang menyatakan bahwa ARTDIJO telah memutus perkara bahkan sebelum berkasnya masuk, berdasar kebenciannya yang menyala-nyala.


Bagi seorang hakim, kebencian tidak boleh menjadi dasar memutuskan sebuah perkara. Sikap ini hanya akan menjadikan dirinya seorang hakim yang tidak profesional. Padahal kapabilitas bagi seorang hakim sama pentingnya dengan moral dan integritasnya.


Kebencian sangat dekat dengan ketidakadilan. Pesan itu telah mengkristal dalam spirit semua tradisi dan diperkokoh dalam pesan ajaran agama. Disebutkan dalam firman Allah Swt: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. al-Maidah (5): 8].


Sebagai hakim, ARTIDJO semestinya sadar bahwa posisinya adalah sebagai “wakil Tuhan” dalam penegakkan kebenaran dan keadilan. Bukankah Allah juga berfirman: dan apabila (kamu) menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil [QS. Annisa (4): 58].


Kebencian tidak boleh menjadi dasar hakim untuk membuat putusan dan juga kapabilitas. Kapabilitas juga terkait dengan kemampuan fisik dan pengetahuan. Kekurangan dalam kemampuan fisik (penglihatan) juga dapat mempengaruhi kemampuan lain yang berkaitan dengan kecakapan yang diperlukan seorang hakim. Hal ini diperkuat oleh terjadinya beberapa putusan kasasi dimana ARTIDJO—yang banyak mendapatkan tepuk tangan dan pujian dari publik yang awam hukum—ternyata salah dalam membuat keputusan.


Pada kasus yang melibatkan terdakwa Kurnia Sakerebau tahun 2013, ARTIDJO salah membuat keputusan, sehingga terpaksa harus dikoreksi MA dalam PK. Pada kasus yang melibatkan terdakwa Sumita Tobing tahun 2012, terjadi berkas perkara yang tertukar dengan terdakwa lain. Lebih konyol lagi pada kasus yang melibatkan terdakwa dr Bambang Suprapto tahun 2014, ARTIDJO menerapkan pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.


Ironisnya, ARTIDJO dan para pendukungnya menantang (mengejek) para terdakwa mengajukan kasasi hanya untuk diperberat hukumannya. ARTIDJO mengirimkan pesan pesan “ancaman” agar para terdakwa yang tengah mencari keadilan untuk tidak nekad mengajukan Kasasi. Tidak jarang, ancaman  ini membuat para terdakwa mengurungkan niatnya mencari keadilan akibat “ancaman” ARTIDJO.


Mahkamah Agung memiliki fungsi sebagai terminal akhir bagi semua warga negara untuk mencari keadilan. Ketika ARTIDJO mendeklarasikan dirinya sebagai satu-satunya pemilik hukum, maka pada titik inilah Artidjo telah menutupi jalan para pencari keadilan. Ia menghambat para pencari keadilan memenuhi hak asasinya untuk mendapatkan keadilan sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi. Jika situasi ini dibiarkan, tidak bisa dibayangkan besarnya kerusakan hukum dan pelanggaran HAM yang akan terjadi di negeri ini, mengingat ARTIDJO adalah seorang hakim agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung.


Berdasarkan pandangan yang kami sebutkan diatas, maka kami bersepakat bahwa hukum tidak boleh dijalankan dengan kebencian. Upaya mendapatkan keadilan dan persamaan di depan hukum adalah hak asasi yang tidak boleh dilanggar dan dibatasi oleh siapapun. Untuk itu petisi ini bertujuan untuk agar palu kebencian ARTIDJO harus diakhiri, sekarang juga.

Senin, 11 Mei 2015

IMPLEMENTASI KUALITAS INSAN CITA DALAM MENCIPTAKAN PEMIMPIN MASA DEPAN INDONESIA


 
IMPLEMENTASI KUALITAS INSAN CITA DALAM MENCIPTAKAN PEMIMPIN MASA DEPAN
INDONESIA

Disusun Oleh:
Muhammad Alwi Hasbi Silalahi
(Sebagai salah satu syarat mengikuti LK III (Advance Training) Badko HMI Kalimantan Barat)


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZ8xOrQ0HDsEUM-7xdxHzOwXZIfz4zpSUHte_a3nBsofUqLUie6OTR_WBbjQPcxFXObrlJOb8ImSrkPWRoLTOJe0wZxwTR6De7vVaXCcTgUjRHiKo68Gmd3zG2Qt1bbpfafTyVIDT2DV0/s1600/hmi.png

HMI CABANG MEDAN
BADKO HMI SUMATERA UTARA
2015






















DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................................... 3
C.     Tujuan Pembahasan................................................................................................... 4

BAB II
ISI
A.    Karakter Manusia Indonesia...................................................................................... 5
B.     Karakter Muslim........................................................................................................ 6
C.     Membentuk karakter pencipta dan pengabdi............................................................. 9
D.     Menyegarkan kembali HMI sebagai upaya menciptakan
pemimpin masa depan Indonesia............................................................................... 11

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................................ 14
B.     Saran.......................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 15



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirrabbilalamin, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh sekalian alam. Sebagai umat Rasulullah, sudah sepantasnya kita memberikan pujian dan sholawat kepadanya, Allhaummasholli ala saydana Muhammad. Atas karunia keintelektualan dan kesehatan yang diberikan oleh Allah SWT, penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Implementasi kualitas insan cita dalam menciptakan pemimpin masa depan Indonesia” sebagai salah satu syarat mengikuti Latihan Kader III (Advance Training) Badko HMI Kalimantan Barat 2015
Terselesaikannya makalah ini juga tidak luput dari dukungan orang terdekat penulis, yaitu:
1.      Orang tua saya yang telah melahirkan dan membesarkan saya sebagai muslim yang baik.
2.      Ketua HMI Cabang Medan 2014-2015, bung Mirza Zamzami S.E. Atas motivasi beliau saya dapat terpacu untuk mengikuti Latihan Kader III (Advance Training)
3.      Ketua HMI Komisariat Fakultas Syariah IAIN SU 2014-2015, adinda Agus Partahanan Hasibuan. Atas dukungan beliau, saya dapat yakin dan percaya untuk menyelesaikan Training Formal di HMI.
4.      Wabilkhusus, rekan juang  yang terus memotivasi saya dan banyak memberi saran sehingga terselesaikanlah makalah ini.
Dengan diselesaikannya makalah ini, penulis berharap makalah dapat bermanfaat untuk orang-orang yang membacanya, khususnya kader HMI. Penulis juga berharap makalah ini dapat memotivasi kader-kader HMI di seluruh Indonesia untuk terus menjunjung tinggi semangat perkaderan. Yakin Usaha Sampai!







BAB I
PENDAHULUAN
D.    Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia lengkap dengan sumber daya alam yang melimpah. Seharusnya dengan sumber daya alam yang berlimpah, sebuah negara dapat memakmurkan rakyatnya. “Jauh panggang dari api”, Indonesia dengan segala kelimpahan sumber daya alamnya tidak mampu memakmurkan rakyatnya. Jika berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada tahun 2014, presentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa, maka pada 2015 ada tambahan penduduk miskin sekitar 1,9 juta jiwa.

Kemudian, mampu dianalisis bahwa tidak terwujudnya kemakmuran di Indonesia disebabkan oleh tidak termanfaatkannya sumber daya alam secara maksimal. Tentang sumber daya alam yang tak maksimal itu dipengaruhi langsung oleh pemimpin Indonesia yang tidak mampu mengelolanya. Hal itu adalah tanggung jawab langsung pemimpin-pemimpin di Indonesia.

Masalah di atas adalah masalah terkait materi yang penyelesaiannya tidak sesulit masalah-masalah inmateri yang ada. Masalah-masalah inmateri yang terindikasi adalah krisis nasionalisme, kebangsaan dan masalah-masalah pluralitas. Untuk menyelesaikan masalah inmateri butuh konsep dan komitmen yang terstruktur. Besar biaya dan energi yang harus dikeluarkan. Contoh sederhananya, butuh perbaikan radikal untuk pendidikan di Indonesia.  Banyaknya masalah muncul dari degradasi kepemimpinan di Indonesia yang akhirnya akan terakumulasi sebagai krisis kepemimpinan di Indonesia.

Masalah-masalah inmateri tersebut pasti dipengaruhi oleh karakter-karakter manusia karena karakter akan membentuk pola tingkah. Karakter manusia Indonesia yang banyak berkembang saat ini diantaranya adalah karakter pengikut, pengkhianat, pendusta, hingga penjilat. Karakter-karakter tersebut harus diganti dengan karakter islam yang lebih mementingkan tugas kerja kemanusiaan daripada mementingkan kepentingan pribadi.  

Maka dari itu, perlu kiranya ada sebuah gebrakan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Untuk menyelesaikan sebuah masalah, dibutuhkan tokoh-tokoh untuk dijadikan garda terdepan. Tokoh-tokoh ini harus terdiri dari manusia Indonesia yang memiliki karakter bebas dari sistem kehidupan nyata, tidak memiliki banyak kepentingan, dan beridealime tinggi, singkatnya adalah tokoh yang independentatif. Jawaban dari setiap karakteristik itu adalah mahasiswa. Hanya mahasiswa yang mungkin memiliki sifat independen dan idealisme yang terjaga.

Mahasiswa-mahasiswa itu juga harus diklasifikasikan lebih dalam. Karena dewasa ini banyak mahasiswa yang telah lari dari  fungsi dan tugas sebenarnya. Maka alat ukurnya adalah mahasiswa-mahasiswa yang membentuk sebuah komunitas dan fokus dalam menjaga idealisme dan independensi.

Salah satu yang dapat diklasifikasikan sebagai mahasiswa-mahasiswa dengan idealisme dan independensi yang masih terjaga adalah mahasiswa-mahasiswa yang terhimpun dalam Himpunan Mahasiswa Islam. Himpunan Mahasiswa Islam adalah sebuah organisasi mahasiswa islam tertua Indonesia. Kendati begitu, bukan itu yang melegitimasi Himpunan Mahasiswa Islam sebagai organisasi yang memiliki kualitas lebih dari organisasi sejenisnya. Pepatah klasik membenarkannya, “umur yang tua bukan sebuah garansi dari kedewasaan”.

Bukan hanya satu yang melegitimasi Himpunan Mahasiswa Islam sebagai organisasi yang berkualitas, banyak hal diantarannya yaitu Nilai-nilai Dasar Perjuangan, Tafsir Independensi, Memori Penjelasan Islam sebagai Azas dan Tafsir Tujuan (Mission HMI). Hal-hal itu akan menuntun manusia-manusia Indonesia untuk meninggalkan karakter jahiliyah dan menuju karakter manusia islam. Maka telah terpenuhilah syarat dalam memperbaiki masalah-masalah yang ada di Indonesia. Jika dikerucutkan, Himpunan Mahasiswa Islam memkiliki tafsir independensi dan tafsir tujuan sebagai senjata dalam menumpas biang-biang penyebab masalah di atas. Dengan tafsir independensi, Himpunan Islam harusnya mampu menjaga independensi. Dengan tafsir tujuannya, Himpunan Mahasiswa Islam harusnya mampu menciptakan sebuah inovasi dalam menciptakan sebuah sistem lalu mengabdikannya untuk kepentingan rakyat/ummat. 

Sistem itupun jangan dibiarkan hanya menjadi hiasan di dinding-dinding kehidupan sosial Indonesia. Dibutuhkan realisasi dan aktualisasi dari sistem tersebut. Salah satu caranya adalah mentransformasikan konsep sistem tersebut menjadi sebuah produsen pemimpin masa depan Indonesia.

E.     Rumusan Masalah
1.      Kemelut dan segala masalah berkaitan dengan kepemimpinan Indonesia dipengaruhi oleh karakter manusianya.
2.      Karakter manusia muslim diperlukan untuk membenahi buruknya karakter manusia Indonesia.
3.      Karakter pencipta dan pengabdi adalah dua karakter yang dibutuhkan untuk membentuk pemimpin yang kafah.
4.      Pemimpin masa depan Indonesia harus diciptakan sebagai tanda nyata atas upaya menyelesaikan setiap permasalahan di Indonesia.





F.     Tujuan Pembahasan
Tujuan utama ditulisnya makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Latihan Kader III (Advance Training) Badko Kalimantan Barat 2015. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah khasanah keilmuan dalam bidang ke-HMI-an.



















BAB II
ISI
E.     Karakter Manusia Indonesia
Indonesia adalah bumi manusia yang sangat heterogen jika dilihat berdasarkan peradabannya. Terdapat banyak petunjuk bahwa kerajaan-kerajaan kuno Indonesia sangat dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Sebaliknya, berdasarkan peninggalan arkeologis serta data antropologis dan filologis, masyarakat Nusantara yang dipengaruhi oleh peradaban India ternyata bukan langsung dating dari India, juga mungkin bukan langsung berasal dari pantai-pantai Cina Selatan seperti biasa diduga. Yang lebih mungkin, penduduk Nusantara merupakan campur-baur kelompok manusia yang berasal dari, dan berkembang di berbagai wilayanh pulau dan daratan disekelilingnya.[1] Keberagaman peradaban Nusantara memastikan bahwa karakter-karakter manusianya pun akan beragam (heterogen). 

Peradaban terus berkembang menuju modernitas dan karakter manusianya juga pasti berkembang, namun tetap memiliki kuantitas yang sama, beragam. Beberapa keberagaman karakter manusia-manusia Indonesia jelas terlihat dari zaman kerajaan hingga sekarang. Pertama, tokoh-tokoh masyarakat sebut saja seperti pemuka agama terlegitimasi sebagai kekuasaan yang lebih mutlak dibandingkan pemimpin negara. Pola ini mengikuti budaya kekuasaan pendeta (hierocratic civilization), baik pendeta Hindu maupun Buddha.  Pola budaya seperti ini khas, yaitu raja dipuji, tetapi pendetalah yang dimuliakan. Betapa hebat pun raja, pendeta tetap lebih berkuasa dari pada raja.[2] Pola budaya ini terus menyublim di bumi nusantara hingga menjadi karakter yang cukup kuat mengakar pada mayoritas manusia Indonesia.

Kedua, manusia Indonesia memiliki karakter ketidakdewasaan terhadap pluralitas dan multikulturalisme. Ketidakdewasaan itu tersimbol dalam lemahnya apresiasi atas multikulturalisme tersebut, sehingga yang terjadi adalah pola penyeragaman. Seharusnya untuk merajut pluralism bangsa, maka pola dan strategi pembangunan semestinya lebih berangkat dari paradigm budaya yang apresiatif atas multikulturalisme.[3]  

Ketiga, pola membuat patuh manusia lain yang berstatus sosial lebih rendah dan pola korupsi yang diadopsi dari pola-pola kolonialisme. Praktik karakter buruk kolonialisme yang berlangsung hingga berabad-abad tersebut sangat mempengaruhi karakter manusia Indonesia bahkan hingga kolonialisme telah lama berakhir. Baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, praktik membudaki manusia lain dan korupsi sudah sangat menjamur di bumi Indonesia ini.

Itulah tiga karakter manusia Indonesia yang tumbuh dan terus berkembang di Indonesia. Sebenarnya, masih banyak karakter-karakter yang terlihat di setiap manusia Indonesia. Mengerucutkan karakter manusia Indonesia ke dalam tiga karakter tersebut disebabkan ketiganya adalah karakter yang menghambat tumbuh dan berkembangnya karakter pemimpin yang ideal.
 
F.     Karakter Muslim
Jika karakter manusia Indonesia yang dipengaruhi pola kekuasaan kerajaan-kerajaan kuno dan pola kolonialisme memberikan dampak buruk berupa penghambat timbulnya karakter pemimpin ideal, maka dibutuhkan pola-pola alternatif untuk memperbaikinya. Pola alternatif yang diajukan adalah pola karakter muslim atau karakter manusia Islam. Pola karakter muslim ini kemudian akan mengantitesis tiga karakter manusia Indonesia yang nota bene merupakan penghambat tumbuh kembangnya karakter pemimpin Ideal.

Karakter manusia muslim tersebut adalah pola karakter yang bukan buatan manusia, bukan lahir dari sebuah budaya atau ideologi seseorang maupun sekelompok orang. Pertama, Al-Qur’an dan Hadist adalah tempat mengembalikan segala masalah yang terjadi. Kekuasaan mutlak tuhan dapat disaksikan langsung melalui Al-Qur’an dan Hadist. Ini merupakan antithesis dari pola karakter manusia Indonesia yang menganut paham bahwa pemuka agama merupakan hal mutlak untuk menentukan segalanya.  Jadi dalam praktiknya, karakter manusia muslim yang pertama ini menjadikan Al-Qur’an dan Hadist sebagai hal mutlak yang memegang kekuasaan menentukan setiap permasalahan berikut pemecahannya. Slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist” tentu tidak mengandung masalah penolakan atau penerimaan. Tetapi segi pelaksanaannya akan berbeda. Sebab, di sini menyangkut tingkat pengetahuan dan pengertian: menyeluruh atau parsial, aksentuasi yang tepat atau tidak, latar belakang pendidikan, lingkungan dan kepentingan.[4] Hal ini lebih diperkuat dengan QS. An-Nisa : 59, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”. Jadi, dalam karakter manusia muslim mengarah pada kepatuhan terhadap yang lebih haq dan sempurna, bukan pada tokoh-tokoh yang hanya manusia biasa.

Kedua, karakter manusia muslim memiliki semangat apresiatif terhadap multikulturalisme dan pluralitas. Ini adalah antithesis dari karakter manusia Indonesia yang lemah dalam meberikan apresiasi terhadap multikulturalisme dan pluralitas. Karakter menghargai sebuah pluralitas didukung oleh QS. Al-KaaFirun : 1-6. Sebagai contoh, mulai dari zaman kerasulan hingga kekhilafahan, karakter manusia muslim yang terbawa tidak semena-mena menghancurkan budaya-budaya pada suatu tempat target misi keislaman. Tentu saja budaya-budaya yang diindahkan dan diapresaisi itu adalah budaya yang sama sekali tidak bertentangan pada Al-Qur’an dan Hadist. Bahkan budaya itu membantu manusia muslim dalam mengembangkan peradaban-peradaban di daerah kekuasaannya.       

Ketiga, karakter muslim yang mengacu pada keadilan sosial, jika meminjam kata-kata Nurcholis Majid, “cita-cita keadilan sosial dalam Islam. Karakter ini merupakan antithesis dari karakter buruk manusia Indonesia yang melanggamkan penindasan dan korupsi. Cita-cita tersebut dapat dirasakan denyut nadinya yang kuat pada beberapa surah-surah atau ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Keprihatinan Rasulullah mengenai masyarakat Makkah yang mengindahkan praktik politeisme dan kezaliman (ketidakadilan) sistem ekonominya. Politeisme dipandang sebagai dosa yang tak terampuni (QS. An-Nisa’ : 48 dan 116), karena ia merupakan kejahatan terbesar manusia kepada dirinya sendiri (QS. Luqman : 13). Dalam hukum fiqih, cita-cita ini dijabarkan menjadi ketentuan tentang halal dan haram dalam perolehan ekonomi (tidak boleh ada penindasan oleh manusia atas manusia (QS. Al-Baqarah : 279) dan tidak boleh ada pembenaran pada “struktur atas”, khususnya sistem pemerintahan dan perundangan, terhadap praktik-praktik penindasan (QS. Al-Baqarah : 188).[5] Jadi, terlihat jelas bahwa islam mewajibkan manusianya untuk menghindarkan karakter yang terbiasa dengan penindasan dan korupsi.

Ketiga karakter manusia muslim ini adalah karakter yang ditunjukkan Allah SWT. melalui hudan (hidayah/petunjuk/kitab)-Nya. Jadi, ketiga karakter muslim itu adalah haq dan sempurna untuk dipraktikkan dalam kehidupan bersosial setiap manusia.

G.    Membentuk karakter pencipta dan pengabdi
Pemimpin adalah sosok manusia yang mampu mempengaruhi banyak orang untuk menjalankan apa yang dikehendakinya. Pemimpin yang baik seharusnya mampu memberikan pengaruh yang baik agar apa yang dijalankan orang-orang yang dipengaruhinya menjalankan sesuatu yang baik pula. Seseorang yang diplot sebagai pemimpin sudah pasti memiliki tingkat intelektual atau akademis yang lebih dibandingkan yang lain. Namun tidak semua pemimpin mampu mentransformasikan keintelektualan dan keakademisannya menjadi sebuah karya cipta. Kemudian, apabila ia tidak mampu menciptakan karya cipta, sudah dapat dipastikan juga tidak mampu mengabdi pada banyak orang yang membutuhkan kepemimpinannya.

Maka dari itu, perlu dan sangat penting adanya karakter pencipta dan pengabdi pada diri setiap pemimpin agar seyogyanya juga mampu menciptakan dan mengabdi. Karakter pencipta dan pengabdi ini erat hubungannya dengan kualitas insan cita Himpunan Mahasiswa Islam. Substansi pada karakter pencipta dan pengabdi ini meliputi tiga hal, yaitu:[6]
1. ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat manusia.
2.  Sadar membawa tugas insan pengabdi, bukannya hanya membuat dirinya baik tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.
3. Insan akademis, pencipta, dan pengabdi adalah yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.

Jika dilihat dari substansi karakter pencipta dan pengabdi di atas, harusnya kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam dapat menjadi pemimpin masa depan yang ideal untuk Indonesia. Kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam memiliki dasar pemikiran yang kuat untuk memimpin bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Karakter pencipta dan pengabdi sudah teraktualisasi sejak orde baru. Aktualisasi tersebut dibuktikan oleh goresan-goresan sejarah pergerakan Himpunan Mahasiswa Islam.

Salah satu aktualisasi dan partisipasi terbesar dari karakter pencipta dan pengabdi Himpunan Mahasiswa Islam terjadi setelah tatanan orde baru sudah mantap. Bentuk-bentuk partisipasi Himpunan Mahasiswa Islam, anggota dan alumninya dalam menunjang pembangunan yang dimulai tahun 1969 hingga sekarang meliputi (a) partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim, yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, (b) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran, (c) partisipasi dalam bentuk pelaksanaan langsung dari pembangunan.[7]   

Namun dewasa ini, Himpunan Mahasiswa Islam mengalami degradasi nilai yang akhirnya mencitrakan dirinya sebagai organisasi mahasiswa yang membentuk mesin-mesin intelektual penerus pemimpin rakus dan bersifat colonial. Bukan tanpa alasan, telah banyak alumni-alumni Himpunan Mahasiswa Islam yang justru menjadi tokoh intelektual praktik penindasan dan korupsi di negeri ini.

Manifestasi dari pencipta dan pengabdi itu memang harus dimulai dari sebuah gerakan intelektual dan itu menjadi pilihan utama, namun bukan dengan gerakan tipu muslihat berupa penindasan. Harusnya persoalan intelektual, sebagaimana tercermin dalam ajaran islam, secara formulatif adalah faktor paling determinatif, dalam mempengaruhi dan mengarahkan aspek-aspek penting kehidupan manusia lainnya. [8] Karena itu pilihan pendekatan yang ditempuh Himpunan Mahasiswa Islam dalam rangka mewujudkan cita-citanya untuk “masyarakat yang diridhoi Allah SWT, bukan saja pilihan yang tepat bagi eksistensinya sendiri, tetapi sekaligus juga mengisi sebuah “kekosongan” bentuk atau manifestasi gerakan Islam.[9]

Ketika berhasil memiliki karakter akademis dan pencipta, kader-kader maupun alumni Himpunan Mahasiswa Islam juga harus memiliki karakter pengabdi yang benar-benar berorientasi melawan penindasan dan bukan menjadi penindas walaupun jalan yang ditempuh sangat terjal. Tugas-tugas sebagai pengabdi memang memerlukan keuletan dan ketabahan. Di samping itu juga sebagai pejuang harus menyadari bahwa perjuangan itu memerlukan waktu yang panjang karena umur dari perjuangan itu lebih panjang dari umur manusia yang melakukannya.[10]

H.    Menyegarkan kembali HMI sebagai upaya menciptakan pemimpin masa depan Indonesia.
Begitu kencang angin yang menerpa tubuh Himpunan Mahasiswa Islam. Begitu banyak pisau tajam yang menghunus nadi-nadi Himpunan Mahasiswa Islam. Dengan begitu banyak dinamika yang terjadi baik itu dari internal dan eksternal, kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam harus bangkit membenahi diri dan organisasi. Sebelum memrencanakan masa depan yang lebih baik demi terwujudnya “masyarakat adil makmur”, kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam terlebih dahulu harus bertransformasi. Kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam harus mentransformasikan karakternya terlebih dahulu. Mereka harus mampu menyisihkan karakter buruk manusia Indonesia dan berubah menjadi manusia yang berkarakter sesuai ajaran Islam (karakter manusia muslim).
Himpunan Mahasiswa Islam harus disegarkan kembali. Setiap kader-kader HMI juga harus mengembalikan arahnya pada “The HMI Way. The HMI Way tersebut meliputi empat hal. Pertama, negara bukanlah pusat perubahan dan sumber daya politik satu-satunya. Kedua, dunia telah memasuki abad ke-21 yang menuntut perlakuan berbeda dari abad ke-20. Ketiga, kesanggupan bersaing HMI di tengah kemunculan organisasi intelektual muslim baru yang justru diprakarsai oleh eks aktivis HMI tahun 1970-an dan 1980-an yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus. Akhirnya secara objektif, siapapun akan berharap jika  The HMI Way atau jalan yang dipilih HMI akan dapat menjawab tantangan zaman kekinian dan masa depan. [11]

Ketika kader-kader HMI telah memiliki karakter sesuai dengan ajaran Islam dan menjalankan The HMI Way dengan baik, maka akan lahirlah pemimpin-pemimpin masa depan Indonesia dan tentu saja yang baik. Pemimpin yang baik mampu membuat pengikut-pengikutnya itu tunduk karena keinsafan karena ketaatan, bahkan tunduk karena merasa bersyukur mendapat bimbingan, dan secara ikhlas menjalankan perintah-perintah dan instruksi dari pemimpin, bukan karena takut.[12]  

Salah satu sosok pemimpin yang bias menjadi panutan bagi seluruh kader HMI yang bercita-cita menjadi pemimpin masa depan Indonesia adalah Nurcholis Majid. Kualitas yang dibentuknya dari proses perjalanan ke berbagai negara diabdikan untuk Indonesia walaupun ia pernah diminta mengabdi di Universitas Chicago Amerika Serikat. Calon pemimpin masa depan Indonesia harus mengadopsi semangatnya. Melakukan pencerahan-pencerahan dan terus berjuang tak kenal lelah membawa Islam Indonesia menjadi agama yang modern sekaligus sebagai lokomotif pembangunan negara yang berkeadaban.[13]

HMI berhasil menciptakan kultur atau budaya organisasi yang mantap dan  mapan. [14] Itu merupakan modal yang sangat berharga bagi kader-kader HMI dlam memperbaiki diri dan organisasi hingga HMI menjadi produsen pemimpin-pemimpin masa depan Indonesia, tentu saja yang berkualitas, baik, dan melawan penindasan.












BAB III
PENUTUP
C.    Kesimpulan

Sebagai organisasi mahasiswa Islam terbesar dan tertua di Indonesia yang telah melewati berbagai dinamika, harusnya Himpunan Mahasiswa Islam mampu menjadi organisasi yang lebih dewasa dan berpengalaman. Kedewasaan tersebut harus diaktualisasikan pada penciptaan calon-calon pemimpin masa depan Indonesia.

Himpunan Mahasiswa Islam harus mengembalikan dirinya pada substansi dan khittah yang sebenarnya. HMI memiliki berbagai hasil pemikiran seperti NDP, tafsir tujuan, tafsir independensi, dan sebagainya. Itu adalah modal berharga dalam proses menghasilkan calon-calon pemimpin masa depan Indonesia.

Selain itu, kader-kader Himpunan Mahasiswa harus meninggalkan karakter-karakter buruk kebanyakan manusia Indonesia dan membentuk karakter-karakter sesuai dengan ajaran Islam yang haq dan sempurna. Dengan begitu, niat untuk menjadi pencipta dan pengabdi akan benar-benar dicapai oleh kader maupun alumni HMI. Amiin, Yakin Usaha Sampai!


D.    Saran

Ada yang jauh lebih penting dari sekedar kekuasaan struktur di HMI, ialah substansi dan prinsip HMI itu sendiri. Sudah saatnya kader HMI mengubah paradigm bahwa kekeuasaan adalah segalanya.



DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Alfan. HMI 1963-1966. Jakarta: Kompas, 2013.
Bustami, Abu Yazid. HMI Masih Ada: Refleksi Para Kader. Depok: Penerbit Layar Terkembang, 2014.
Kurnia, Ahmad Doli. Nasionalisme Kaum Muda. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.
Majid, Nurcholis. Islam kemodernan dan keindonesiaan. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013.
Moerdiono dkk. HMI Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: PT. Gunung Kulabu, 1990.
Simbolon, Parakriti T. Menjadi Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006.
Sitompul, Agussalim. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta: CV Misaka Galiza, 2008.
Solichin. HMI Candradimuka Mahasiswa. Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2010.
Suharsono. HMI: Pemikiran dan Masa Depan. Yogyakarta: CIIIS Press, 1997.
Tarigan, Azhari Akmal. Jalan Ketiga Pemikiran Islam HMI. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008.





Curicculum vitae

Nama                           : Muhammad Alwi Hasbi Silalahi
TTGL                          : Labuhan Deli, 04 Desember 1991
Alamat                                    : jl. Adinegoro 15, Medan
No HP                         : 081260817222
Asal Cabang                : Himpunan Mahasiswa islam (HMI) Cabang Medan
Jenjang Pendidikan     :           -      MIN Pulau Rakyat Tua                                       (Tamat)
-          MTS Pulau Raja                                                    (Tamat)
-          SMK N-1 Pulau Rakyat Tua                                (Tamat)
-          IAIN SUMATERA UTARA                              (SEKARANG)
Jenjang Training          :           -      LK-1 (HMI Cabang Medan)                               (2010)
-          LK-2 (HMI Cabang Labuhanbatu Raya)             (2012)
Peng Organisasi          :           -     Dep. PTKP HMI Kom’s Syariah IAIN Sumut    (2010-2011)
                                                -     Wasekum PTKP HMI Kom’s Syariah IAIN SU (2011-2012)
                                                -     Dep.HUKUM & HAM HMI Cabang Medan    (SEKARANG)

MOTTO                     : Lakukan yang terbaik dan tetap semangat. Yakin Usaha Sampai



[1] . Simbolon, Parakriti T. Menjadi Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006. Hal: 7
[2] . Simbolon, Parakriti T. Menjadi Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006. Hal: 9

[3] Kurnia, Ahmad Doli. Nasionalisme Kaum Muda. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005. Hal: 48
[4]     Majid, Nurcholis. Islam kemodernan dan keindonesiaan. Bandung: PT Mizan Pustaka,2013.Hal: 288.
[5]  Majid, Nurcholis. Islam kemodernan dan keindonesiaan. Bandung: PT Mizan Pustaka,2013.Hal: 128-129
[6] Solichin. HMI Candradimuka Mahasiswa. Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2010. Hal: 202
[7] . Sitompul, Agussalim. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta: CV Misaka Galiza, 2008. Hal: 52.
[8] .Suharsono. HMI: Pemikiran dan Masa Depan. Yogyakarta: CIIIS Press, 1997. Hal: 124.
[9] . Suharsono. HMI: Pemikiran dan Masa Depan. Yogyakarta: CIIIS Press, 1997. Hal: 125.
[10] . Sitompul, Agussalim. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta: CV Misaka Galiza, 2008. Hal: 218
[11] Bustami, Abu Yazid. HMI Masih Ada: Refleksi Para Kader. Depok: Penerbit Layar Terkembang, 2014. Hal 107-108
[12] Moerdiono dkk. HMI Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: PT. Gunung Kulabu, 1990. Hal: 78
[13] . Tarigan, Azhari Akmal. Jalan Ketiga Pemikiran Islam HMI. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008. Hal: 194.
[14] . Alfian, Alfan. HMI 1963-1966. Jakarta: Kompas, 2013. Hal: 256