Selasa, 30 Juni 2015

PETISI KEADILAN UNTUK SEMUA

Disampaikan di LP Sukamiskin 16 Juni 2015

Tujuan asasi penegakan hukum adalah tercapainya keadilan. Namun, dalam prakteknya, hukum dan keadilan berjalan saling menjauh. Kapan itu terjadi? Ketika norma dan prosedur tidak berjalan sepenuhnya. Ketika kepentingan dan subjektivitas mengalahkan objektivitas, maka hukum dan keadilan saling menjauh.

Korupsi di Indonesia ini telah dikukuhkan sebagai extra ordinary crime. Pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas bertahun-tahun. Kendati korupsi telah dicanangkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi pemberantasan korupsi harus tetap berada dalam ranah untuk mencapai keadilan. Jika tidak, ia dapat menjadi peperangan yang tidak terkendali. Pemberantasan korupsi justru merusak norma dan tatanan hukum itu sendiri.

Fenomena peradilan kasasi korupsi memberikan hukuman yang lebih berat (tidak jarang dua kali lipat) beberapa tahun terakhir. Terdakwa korupsi yang mencari keadilan dihukum dengan pasal sama yang diterapkan oleh hakim di tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dan tingkat banding (Pengadilan Tinggi).

Timbul pertanyaan besar ketika pencari keadilan kasasi diberi hukuman yang berlipat ganda. Apakah majelis Kasasi yang berdasarkan Judex Juris (hanya memeriksa penerapan pasal hukum), lebih mengetahui fakta-fakta dan bukti dibandingkan hakim Tipikor dan hakim Pengadilan Tinggi  yang menangani langsung pengadilan fakta dan bukti secara seksama (Judex Facti).

Tatanan hukum di seluruh penjuru dunia tidak pernah mengenal peradilan Kasasi yang dapat memberikan hukuman dua kali lipat lebih berat dibandingkan putusan peradilan sebelumnya. Fenomena ini hanya terjadi di Indonesia. Anomali ini hanya dilakukan oleh  satu orang hakim agung yang bernama ARTIDJO ALKOTSAR.

Anas Urbaningrum, korban ke-20

Minggu lalu, majelis hakim kasasi pimpinan ARTIDJO melipatgandakan hukuman Anas Urbaningrum (AU) menjadi 14 tahun dengan menggunakan pasal sama yang diterapkan hakim Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT). Seolah-olah ARTDIJO lebih paham fakta dan bukti perkara AU dibandingkan hakim PN dan PT. Padahal majelis hakim banding di tingkat PT, melalui pemeriksaan seksama terhadap fakta dan bukti sesuai kewenangannya dalam judex facti, memutuskan meringankan hukuman AU karena posisinya sangat jauh dari Hambalang.

Uniknya, dari semua kasus terkait Hambalang, ARTIDJO “hanya” bersedia menangani perkara AU dan cenderung menghindari terdakwa yang lain. Selain ini akhirnya menyebabkan perbedaan hukuman pada seluruh terdakwa terkait Hambalang. Hal ini tentu saja menjerumuskan  kredibilitas MA. Publik bertanya apakah ada pihak luar yang mengorder ARTIDJO? AU dan korban-korban ARTIDJO sebelumnya, seperti Lutfi Hasan Ishaq, Angelina Sondakh, Budi Mulya, Sumita Tobing, Hotasi Nababan, dr Bambang Suprapto, dan banyak lagi yang lain berhak untuk mencari keadilan bagi dirinya. Mereka berhak tahu apa alasan ARTIDJO memperberat hukuman. Apakah alasan itu didasari oleh murni hukum atau di luar hukum?

Palu Kebencian Seorang ARTIDJO

ARTIDJO kerap mengekspresikan kebenciannya yang mendalam terhadap korupsi dan terdakwa korupsi di media. Ada sejumlah kesaksian menyebut ARTIDJO tidak pernah membaca berkas perkara. Bahkan ada yang menyatakan bahwa ARTDIJO telah memutus perkara bahkan sebelum berkasnya masuk, berdasar kebenciannya yang menyala-nyala.


Bagi seorang hakim, kebencian tidak boleh menjadi dasar memutuskan sebuah perkara. Sikap ini hanya akan menjadikan dirinya seorang hakim yang tidak profesional. Padahal kapabilitas bagi seorang hakim sama pentingnya dengan moral dan integritasnya.


Kebencian sangat dekat dengan ketidakadilan. Pesan itu telah mengkristal dalam spirit semua tradisi dan diperkokoh dalam pesan ajaran agama. Disebutkan dalam firman Allah Swt: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. al-Maidah (5): 8].


Sebagai hakim, ARTIDJO semestinya sadar bahwa posisinya adalah sebagai “wakil Tuhan” dalam penegakkan kebenaran dan keadilan. Bukankah Allah juga berfirman: dan apabila (kamu) menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil [QS. Annisa (4): 58].


Kebencian tidak boleh menjadi dasar hakim untuk membuat putusan dan juga kapabilitas. Kapabilitas juga terkait dengan kemampuan fisik dan pengetahuan. Kekurangan dalam kemampuan fisik (penglihatan) juga dapat mempengaruhi kemampuan lain yang berkaitan dengan kecakapan yang diperlukan seorang hakim. Hal ini diperkuat oleh terjadinya beberapa putusan kasasi dimana ARTIDJO—yang banyak mendapatkan tepuk tangan dan pujian dari publik yang awam hukum—ternyata salah dalam membuat keputusan.


Pada kasus yang melibatkan terdakwa Kurnia Sakerebau tahun 2013, ARTIDJO salah membuat keputusan, sehingga terpaksa harus dikoreksi MA dalam PK. Pada kasus yang melibatkan terdakwa Sumita Tobing tahun 2012, terjadi berkas perkara yang tertukar dengan terdakwa lain. Lebih konyol lagi pada kasus yang melibatkan terdakwa dr Bambang Suprapto tahun 2014, ARTIDJO menerapkan pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.


Ironisnya, ARTIDJO dan para pendukungnya menantang (mengejek) para terdakwa mengajukan kasasi hanya untuk diperberat hukumannya. ARTIDJO mengirimkan pesan pesan “ancaman” agar para terdakwa yang tengah mencari keadilan untuk tidak nekad mengajukan Kasasi. Tidak jarang, ancaman  ini membuat para terdakwa mengurungkan niatnya mencari keadilan akibat “ancaman” ARTIDJO.


Mahkamah Agung memiliki fungsi sebagai terminal akhir bagi semua warga negara untuk mencari keadilan. Ketika ARTIDJO mendeklarasikan dirinya sebagai satu-satunya pemilik hukum, maka pada titik inilah Artidjo telah menutupi jalan para pencari keadilan. Ia menghambat para pencari keadilan memenuhi hak asasinya untuk mendapatkan keadilan sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi. Jika situasi ini dibiarkan, tidak bisa dibayangkan besarnya kerusakan hukum dan pelanggaran HAM yang akan terjadi di negeri ini, mengingat ARTIDJO adalah seorang hakim agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung.


Berdasarkan pandangan yang kami sebutkan diatas, maka kami bersepakat bahwa hukum tidak boleh dijalankan dengan kebencian. Upaya mendapatkan keadilan dan persamaan di depan hukum adalah hak asasi yang tidak boleh dilanggar dan dibatasi oleh siapapun. Untuk itu petisi ini bertujuan untuk agar palu kebencian ARTIDJO harus diakhiri, sekarang juga.