Minggu, 12 April 2015

Degradasi Mahasiswa Dalam Menyikapi Persoalan Masyarakat




“ Panglima besar Jenderal Sudirman dengan geriliyanya dapat mengusir Belanda di umur ±23 tahun”

Melihat kondisi hari ini banyak perubahan tingkah laku yang tidak sesuai dengan sebutan “Mahasiswa is Agent of Change”, ”Agent of Socia and Agent of controll”. Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun hal ini menimbulkan perubahan yang drastis.
Ingatkah pada tahun 1965-1969, keterlibatan mahasiswa dalam mendukung membubarkan PKI adalah hal yang nyata dalam sejarah Indonesia, khususnya kepada TNI yang bergandengan tangan bersama mahasiswa agar para komunis tidak menyebar sampai pelosok Nusantara.
Kondisi Mahasiswa juga pada tanggal 11 maret 1998 yang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat progresif. Bahkan mahasiswa Universitas Trisakti yang menjadi korban penembakan pada saat itu sampai hari ini belum juga terungkap jelas siapa dalang atas perintah penembakan tersebut. Malu rasanya melihat mahasiswa sekarang tidak dihargai oleh kalangan masyarakat, namun sebagaian diantaranya masih meyakini perubahan negara ini terletak pada idealisme mahasiswa itu sendiri.
Kita lihat permasalahan hari ini , berbagai macam kasus negara ini alami hanya sebagian dari mahasiswa yang tanggap dalam permasalahan ini, selebihnya hedonis, euforia dan kegiatan fasik lainnya yang menimbulkan pola pikir berbeda dengan kehancuran bumi pertiwi ini. Dalam masalah akademisi memang kita dituntut untuk menyelesaikan perkuliahan. Namun, daripada itu ada amanat yang tidak tertulis dalam diri mahasiswa Agent of Change, Control, and Social.
Begitu banyak kasus di tanah surga ini, baik dari segi hukum maupun ekonomi dan lain-lain.Maka jalan satu-satunya Masyarakat dipaksakan mandiri dalam menyikapi permasalahan dinegeri ini,Pertanyaannya Apakah Mahasiswa dapat kita katakan Agent of Change, Control, and Social.
Begitu juga pendapat dosen yang menyatakan bahwa mahasiswa ketika aksi turun ke jalan dibayar oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Mengapa hal itu bisa terjadi. Bayangkan dalam aksi dukungan, pernyataan sikap, solidaritas demi kemashlahatan umat hanya beberapa mahasiswa yang berpartisipasi dalam hal itu. Selebihnya hanya alasan.... Akademisi memang diprioritaskan daripada aksi-aksi yang tidak berguna menurut mereka. Data April 2011 dari Kementrian Tenaga Kerja ada ±250 ribu tamatan sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan. Ingat, akademisi tidak seutuhnya menjadikan suatu harapan, namun harus dilihat kembali kemampuan atau skill yang harus diperdalam.
Terakhir mari kita berjihad dengan pemikiran dan merubah pola pikir yang mebudaya tanpa kita sadari .Karena dengan berkeyakinan Majunya Negara ini hingga kita rasakan saat ini karena jerih payah Mahasiswa,TNI dan Pahlawan Negara yang rela mengorbakan nyawa serta darah juang yang membara demi Tanah Air Beta.

LUDAH YANG SUDAH KERING



Lihatlah!
masih adakah hati yang berisi?
ketika logika sudah berbau terasi
ketika nurani kian ter-erosi..
di kilatan hujan pesona yang tidak kunjung basi

Lihatlah!
Dendang-an birokrat dan wakil berdasi..
penuh kegiatan sinetron mengejar kursi
Ketika tikus sibuk pesta korupsi
kucing justru giat pamer gusi...
terbuai diempuknya jok mercy

Lihatlah!
Gempita riuhnya demokrasi
menufaimbuhkan nurani yang semakin membesi
saat Rakyat butuh nasi..
namun justru di kremasi

Ah, sudahlah!
ini bukan Demonstrasi. .
ini juga bukan mosi...
ini hanyalah puisi...
dari yang hidup namun sesungguhnya mati!

Politik Sang Pemberontak



Apa yang terjadi di Aceh, setelah revolusi berdarah selama puluhan tahun. Bukankah cita-cita revolusi akhirnya tercapai, meskipun bukan cara kekerasan? Bukankah  perdamaian pada tahun 2005 adalah sebuah kemenangan bersama, tanpa ada yang dikalahkan? Paling tidak rakyat bergembiri, bahwa rasa dan suasana damai telah terwujud, setelah puluhan tahun yang lalu selalu dalam keadaan tertekan, terdhalimi, dan “terjajah” dinegeri sendiri.

Revolusi damai 2005 juga telah mengubah wajah perpolitikan dan kekuasaan di Aceh. Jika sebelumnya yang berkuasa “dianggap” perpanjangan tangan pemerintah Jakarta, kini telah berubah. Mayoritas penguasa baru di Aceh telah di”genggam” oleh para mantan “pemberontak”. Pemberontak yang berjuang melawan ketidakadilan, dan menjanjikan akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. “menjoe nanggroe njoe tamat lam jaroe droe teuh, njan ube na jalan ta peugot dari meuh”. Begitu kata seorang juru dahwah disebuah Balee Kecil pinggir sawah pada awal 2000an.
Benarkan kata-kata yang pernah membuat rakyat “bergelora” untuk berjuang bersama-sama itu telah diwujudkan? Bukankah kekuasaan itu telah berada dalam “jaroe droe teuh”? Adakah sebutir telor yang diberikan rakyat dulu dengan resiko kehilangan nyawa telah terbayarkan? Adakah yang pernah dikatakan oleh Che bahwa saya akan ada dan selalu bersama rakyat yang terdhalimi, dan ketidakadilan diterapkan, dimanapun mereka berada? Atau sebaliknya, seperti dikatakan oleh Marx bahwa politik, hukum dan moralitas bukanlah hal yang menjadi prinsip. Namun itu hanya sebagai alat bagi para elite kekuasaan untuk memelihara kekuasaan mereka.

Dalam beberapa waktu yang lalu, seorang rakyat yang ikut menyampaikan aspirasinya mengeluh karena sikap dan prilaku salah satu anggota dewan yang dianggap sombong dan angkuh. Keangkuhan karena menganggap para demontran bukan rakyat Aceh, hanya karena tidak terlalu paham bahasa Aceh. Bukankah bangsa Aceh adalah gabungan dari berbagai etnis bangsa? Bukankah salah satu kesombongan Hilter karena merasa bangsa Aria sebagai bangsa yang paling hebat didunia, sehingga harus “membantai” etnis bangsa lainnya?
Sebagai penutup, penulis ingin mengatakan bahwa kekuasaan dan politik seharusnya harus dibangun dengan selalu memberikan pendidikan politik, sosial, dan ekonomi terhadap rakyat. Bukan sebaliknya memperlihatkan keangkuhan dan tindakan bodoh lainnya. “Apakah kamu ingin mengotori perjuangan yang baru saja berhasil beberapa menit, dengan membuat kedhaliman baru? Kalau perlu kita berjalan kaki ke Havana, kembalikan!!”

TIKUS BERDASI



Lagi lagi tikus berdasi lagi lagi menggarong negeri ini” Masyarakatku… bayarlah pajak tepat waktu, bukan untuk siapa siapa untuk kita semua.Dengan membayar pajak kita percepat laju pembangunan, Dengan membayar pajak kita tingkatkan kemakmuran dan kesejahteraan, dari kita untuk kita semuanya.” Entah alasan apa, alasan yang mana bisa kami terima memaksa percaya. Setelah nyata enak enakkan duduk di empuk kursi sofa, megah istana, mercedes benz, jaguar BMW ,VW , volvo mengisi garasi dari jerih payah kami. Kering keringat kami lagi lagi untuk tikus berdasi. Kami seperti terbuai mimpi janji terlontar dari mulut berisi penghianatan melulu.Diam mematung pemandang pameran kemewahan pengendara kesombongan. Berteriak serak kau lukis di kanvas berontak, Seolah hanya mengejar bayangan kelam melepuh lemah tengah himpitan kelam malam.Berkesinambungan dalam keputus asaan. Dirimu tikus tikus berdasi menutup mata dengan kaca berlian upaya palingkan masa depan, torehkan tinta jahannam bercecer menepi kertas kehidupan, lenteran cermin setan tanpa cula tak kasat mata bertengger di kursi kepemimpinan sisa zaman, alas tak di tanah kepala budak bawahan kehidupan kaki terinjak. Oi….. tikus tikus berdasi, tanpa sembunyi tak basa basi hari hari menimba di telaga air mata kami, jangan paksa kami mati berdiri seperti di kejar bubar waktu menuju jadi lagi lagi kembali… wujud asli tikus berdasi

Kado untuk Tuan Aktivis



Apa lagi yang bisa kami ceritakan padamu tuan
tenggorokan kami telah serak oleh teriakan-teriakan tak bersuara
semestinya menggema sampai ke relung hati mereka-mereka
yang dulu juga seperti kami
berkoar lantang dalam barisan depan
demi sebuah keadilan
sementara langit kota masih tetap merah dalam pucuk remang

Tuan-tuan sekarang bisa tidur nyenyak dalam dekapan malam
usai menyanyikan himne perjuangan tadi pagi
tapi lagu itu belum selesai tuan
bangunlah!
lihatlah di jalan-jalan masih hitam oleh perih anak-anak negeri
yang telah dijadikan tumbal untuk sebuah kebenaran semu
pergilah juga ke gubuk-gubuk di pinggir kota
di sana ada tangis jelata
yang mengharapkan sesuap keadilan

Mana, di mana yel-yel yang pernah tuan teriakan dulu
tentang mentari yang tersenyum esok
sedangkan yang kami dapati kini hanyalah muram
oleh asap-asap penindasan yang mengepul
menghitamkan langit kami

Jika tuan masih tak mendengar keluh kami
bagaimana kami bisa meninabobokkan belia
untuk menjemput mimpi-mimpi cemerlang esok hari
apakah karena tuan juga mengharapkan kami
untuk terus merekayasa janji-janji
untuk kami suguhkan pada anak-anak kami
jika kelak mereka menanyakan  arti sebuah keadilan

PUISI SEORANG DEMONSTRAN



bukan rakyat yang bicara
tapi pena
bukan aktivis yang penuhi jalanan kota
tapi kata
sajak suci dari seorang demonstran
saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan

kemarin,
berebut mati untuk merdeka
itulah yang dilakukan pahlawanku

hari ini,
berebut kursi kekuasaan
mereka yang menamai diri partai politisi

tanpa peduli,
mereka yang mengaisi nasi basi
bermandi air hajat sendiri

indonesiaku,
izinkan aku melukismu dari balik pelangi sana
bukan rakyat menghhujatmu
tapi rakyat yang membelamu

indonesiaku,
izinkan aku berlantang kata, berseru!
"berdamailah dengan rakyatku,kami bukan musih mu"

indonesiaku,
atas nama puisi seorang demonstran
aku bangga padamu

Haruskah Menjadi Aktivis



Seseorang, entah siapa namanya dulu pernah berpesan pada saya. Jika anda menjadi seorang aktivis, maka pandangan anda terhadap kehidupan ini akan berbeda. Terutama dalam konteks kehidupan sosial bermasyarakat di masa nanti.

Ternyata, pesan itu selalu teringat di dalam pikiran saya sekarang. Kata-kata itu memang abstrak sebab kata selalu menyimpan maksud absurd apalagi jika kata itu merupakan sesuatu yang belum dirasakan atau dilihat secara nyata. Sama halnya dengan cinta. Kata ini mengandung keabsurdannya karena cinta itu bukanlah sebuah kata benda yang bisa dilihat dan diraba. Cinta menyimpan misterinya sendiri. Dia tidak bisa dilihat, diraba atau ditunjukkan, tapi cinta bisa dirasakan dengan beragam ekspresi di dalamnya. Itulah hakikat sebuah kata absurd yang konon belum bisa terpecahkan hingga sekarang.
Kembali lagi pada konteks awal pembuka tulisan ini. Bagi seorang mahasiswa yang kelak menjadi aktivis. Kata aktivis itu menyimpan konotasi yang beragam dan bermakna. Tergantung bagaimana pengalaman (Term of reference) seseorang ketika mengintepretasikan kata aktivis ini dalam dirinya. Dalam studi komunikasi, kita mengenal adanya teori komunikasi pribadi dimana persepsi seseorang itu ditentukan dari pengalamannya, pengetahuan, informasi dan curios (rasa ingin tahu) terhadap sebuah objek yang ia dengar, lihat dan amati. Maka, ketika membincangkan kata “aktivis mahasiswa”, masing-masing dari kita tentu saja memiliki persepsi yang berbeda-beda tergantung darimana pengalaman kita dan sudut pandang apa yang digunakan ketika membicarakan topik ini.
Aktivis Kampus
Menjadi mahasiswa itu hal luar biasa bagi sebagian masyarakat Indonesia yang notabenenya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jangankan kuliah di sebuah perguruan tinggi, untuk makan sehari saja masyarakat yang kurang beruntung masih menghadapi kesulitan karena tingkat kebutuhan hidup yang makin meninggi saat ini. Karena itu, banyak sebagian diantara kita, atau mungkin teman, saudara, tetangga dan masyarakat sekitar yang tidak mampu menguliahkan anak mereka dengan alasan tak ada biaya kuliah. Nah, dari sinilah kata “beruntung” itu lahir bagi diri anda yang saat ini mengenyam bangku kuliah. Adalah sebuah keberuntungan Orangtua atau mungkin diri anda sendiri mampu menguliahi hingga lulus nanti. Maka, menjadi mahasiswa saja sudah cukup membanggakan apalagi sampai lulus dan menjadi sarjana kemudian mendapat pekerjaan yang bonafide. Jika itu terjadi maka berapa banyak bonus yang Tuhan berikan untuk diri kita.
Namun, kuliah, lulus, menikah, kerja, apakah cukup untuk menikmati hidup yang hanya satu kali ini?? Apakah kita sudah merasa hidup jika apa yang menjadi sebuah kebiasaan yang juga sudah dirasakan oleh ratusan bahkan jutaan orang yang pernah mengalami hal yang sama dengan apa yang kita rasakan sekarang??maksudnya, menjadi mahasiswa, kemudian lulus, bekerja pada sebuah perusahaan, menikah dan seterusnya—merupakan hal biasa yang terjadi dan kita lihat dalam kehidupan orang yang kita kenal. Bukankah hidup mesti berwarna, utamanya ketika kita berproses menjadi manusia khususnya ketika mengenyam bangku kuliah??
Karena itu, kembali ke konteks awal tulisan ini, ada banyak hal yang ketika anda menjadi seorang pegiat sebuah organisasi (aktivis mahasiswa) dunia yang kebanyakan orang lihat, rasakan, dengar dan jalani—berbeda dengan pandangan dunia yang dirasakan oleh aktivis. Bukan berarti sembarang beda. Aktivis kampus adalah mereka yang sejatinya berpedoman pada impian perubahan dan ketinggian ilmu yang melahirkan kebenaran dan kebaikan bagi kehidupan yang secara langsung dan sadar dirinya aktif di dalamnya.

Maka, seorang aktivis merupakan individu yang bergerak dalam organisasi, baik ekstra dan intra kampus yang memiliki kesadaran, kemauan serta kerja keras untuk memperjuangkan sebuah ide, gagasan dan keyakinan akan sebuah kebenaran yang ia peroleh dari kesadaran pengetahuan yang didapatnya melalui buku, perenungan, kajian ataupun diskusi yang melibatkan proses intelektual di dalamya. Contoh populer misalnya Soe Hok Gie. Salah seorang aktivis kampus sekaligus pecinta alam UI. Prototipe aktivis model ini menjadi menarik tatkala alur ceritanya mengusung ide sederhana seorang mahasiswa yang tertarik dengan kondisi sosial masyarakatnya ketika itu dan giat dalam melakukancampaign atas apa yang ia yakini sebagai sebuah kebenaran. Contoh aktivis kampus model inilah yang mendekati ‘kesejatiaan’ seorang aktivis kampus.
Jadi bukan sekedar aktivis kampus yang diidentikkan dengan demonstrasi, rapat, omong sok pintar, dst, tapi ada sebuah nilai dasar yang ia perjuangkan, yakini dan kemudian dipraktikkan dalam kehidupan berorganisasi yang ia ikuti.
Memang harus diakui, suka atau tidak suka, kita dapat membagi dua tipologi aktivis secara sederhana sebagai dasar memasuki dunia aktivis kampus. Pertama, aktivis karbitan alias instan. Pada konteks ini, aktivis dalam kategori ini adalah mereka yang mengklaim dirinya sebagai aktivis kampus atau organisasi tanpa tahu dan mengerti betul apa yang ia lakukan, kerjakan dan tujuan dari apa yang ia lakoni. Biasanya, aktivis ini hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya. Sehingga ketika berkecimpung dalam dunia organisasi terkadang orang type seperti ini lebih banyak merugikan organisasi ketimbang memberikan manfaat pada organisasinya. Secara akademik anjlok dan jatuh. Secara intelektual pas-pasan dan hanya mencari status sosial dalam konteks kampus agar dosen takut padanya karena aktif sebagai aktivis. Tipikal aktivis seperti ini banyak modelnya. Sehingga ketika kelak dirinya memimpin sebuah organisasi, organisasi itu menjadi vakum, ugal-ugalan dan menjauh dari cita-cita serta tujuan daripada organisasi itu berdiri.
Kedua, aktivis akademis. Pada kategori ini, aktivis yang dimaksud adalah mereka yang sejatinya mengerti betul akan kedudukan, status dan fungsi mereka sebagai seorang aktivis. Dirinya sadar sebagai insan akademis dirinya mengedepankan nalar intelektual yang ditumbuhkannya selama ia mengenyam bangku kuliah. Dirinya memahami bahwa perjuangan untuk membangun sebuah peradaban dilakukan melalui proses panjang dan melelahkan. Artinya, dalam setiap tindakan dan pemikiran landasan utama yang dikerjakan melalui kerangka berpikir sistematis, terarah dan berakhir pada happy ending yang menyejukkan. Tidak dengan ugal-ugalan, serampangan dan grasak-grusuk­ akibat ketiadaan nalar intelektual di dalamnya.
Jenis aktivis seperti ini amat langka kita temui. Namun, bukan berarti tidak ada. Di beberapa organisasi kampus, orang-orang seperti ini bersembunyi di balik wajah kesederhanaan yang dia miliki. Sebab, hal ini muncul akibat tingginya ilmu yang dimiliki. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin merendah diri orang tersebut. Bukan sebaliknya, semakin pintar seseorang, semakin sombong dirinya berhadapan dengan orang lain. Disinilah terletak salah kaprahnya.
Ketika memasuki dunia aktivis kampus, dunia yang seolah bergerak biasa-biasa saja, dengan sudut pandang dari seorang aktivis—kelak berbeda. Perbedaan ini didapat melalui tingginya kesadaran baru dalam melihat, merespon dan menginginkan dunia yang sesuai dengan ide dan perenungan yang dilakukannya. Kesadaran untuk bergerak dan memperjuangkan suatu tatanan dunia yang ideal, dimana keadilan, kesejahteraan, kebaikan—secara naluriah tumbuh di dalam batinnya karena menyadari fungsinya sebagai seorang aktivis mahasiswa.

Dari situlah lahir sebuah keyakinan bahwa mahasiswa adalah agent of social change yang bergerak untuk memperbaharui sebuah konstruksi sosial masyarakat yang lebih berpihak pada kemaslahatan. Yang tadinya acuh terhadap dunia sekitar, kini mulai tersadar bahwa banyak hal yang tidak ideal terjadi. Yang tadinya tidak perduli dengan persoalan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat, perlahan-lahan mulai mengamati dan sesekali bergerak mengkritisi beragam persoalan yang timbul di masyarakat. Lambat laun, dunia yang tadinya dilihat biasa-biasa saja, menjadi berbeda dan luar biasa. Yang tadinya kuliah hanya sekedar kuliah, menjadi lebih bermakna karena ada sebuah pekerjaan besar yang lebih tinggi dan mulia daripada sekedar bekerja pada sebuah perusahaan.
Artinya, timbul sebuah kesadaran dan nilai kehidupan yang sesungguhnya yaitu, “manusia hidup di dunia hakikatnya harus bermanfaat bagi orang sekitarnya, sebab ilmu yang tidak bermanfaat kelak dimintakan pertanggungjawabannya di hari akhir nanti”. Dan ketika berbicara dalam konteks yang lebih religius, seseorang yang tahu, tapi tidak mau tahu, dosanya akan lebih berat ketimbang mereka yang tidak tahu. Sebab, orang yang tahu tapi tidak melakukan apa-apa, berarti dirinya termasuk orang yang sombong dan merugi. Karena itu sama saja dengan mengkhianati kecendekiawanan yang ia miliki (Benda,1995) dan hal tersebut sama dengan orang yang munafik.
Maka dari itu, pesan moral sebagaimana yang telah saya kutipkan pada awal tulisan ini menjadi sebuah inspirasi bagi diri saya sendiri, dan mudah-mudahan anda juga termasuk agar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk aktif menjadi pegiat dan terutama mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam kehidupan bermasyarakat dimanapun anda berada. Sebab, negara ini membutuhkan sumbangsih pemikiran serta kepeduliaan kita semua. Sebagai seorang mahasiswa amat disayangkan jika kita hanya menjadi mahasiswa biasa tanpa ada sesuatu yang “luar biasa” yang bisa kita wariskan pada generasi selanjutnya. Maka, timbul pertanyaan kritis, mau menjadi aktivis kampus atau sekedar mahasiswa biasa yang sudah kebanyakan orang rasakan dan lewati?? Pilihannya ada pada diri anda sendiri.

Aktivis Mahasiswa

Hidup Mahasiswa!!!

Sudah semestinya tatkala peserta didik dari jenjang dasar naik kejenjang menengah, jenjang atas masih akrab dengan sebutan siswa, tentu akhirnya jikalau ada kemauan, kemampuan, kesempatan maka akan masuk kedunia pendidikan yang lebih tinggi lagi yaitu diperguruan tinggi menjadi seorang mahasiswa. Menyandang status mahasiswa tentunya menjadi nilai tambah ters
endiri bagi semua orang yang benar-benar mengerti akan pentingnya pendidikan bagi dirinya, hanya saja status mahasiswa tentu tidak serta merta akan merubah paradigma (cara pandang) dalam berbagai hal termasuk menjadi agen of change , agent of social control, and Iron stock. Hal inilah yang tentunya harus disadari oleh seluruh mahasiswa bahwa dalam kehidupannya tidak hanya berbuat yang berguna untuk dirinya sendiri akan tetapi tentunya akan berguna bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Oleh karenanya maka dalam dunia civitas akademika akan muncul kaum yang aktif, kritis, kreatif dan tentunya bertanggungjawab untuk dapat menjadi motor penggerak perjuangan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, dimana sangat dibutuhkan. Berbicara mengenai aktivis mahasiswa, apakah sama dengan mahasiswa aktif? Tentunya akan muncul berbagai jawaban yang tentunya sangat beragam, termasuk kesan ataupun cap yang diberikan. Dikalangan mahasiswa yang merasa menyandang status sebagai aktivis tentu tidak akan begitu mempermasalahkan apapun status yang mereka sandang, selama apa yang mereka perbuat adalah untuk memperjuangkan hak-hak kaum tertindas, kaum lemah demi kemaslahatan(kebaikan) serta bagaimana belajar mengimplementasikan ilmu yang telah didapat, menjadi motor penggerak perjuangan, juga sebagai suri tauladan (contoh) bagi generasi masanya dan selanjutnya. Sebagai suri tauladan yang baik sungguh sangat berat, alias bukan pekerjaan yang mudah kawan, namun apapun alasannya sebagai seorang public figure diantara mahasiswa-mahasiswa yang lain tentunya sangat dibutuhkan. Dari hal-hal terkecil, seperti pergaulan, penampilan, tutur kata dsb. Nah banyak kita jumpai mahasiswa yang menjadi public figure justru memberikan kesan yang kurang baik, bahkan terkesan begitu mencolok, pergaulan bebas (merasa karena sudah dewasa), intensitas pergaulan antara mahasiswa-mahasiswi tanpa tedeng aling-aling alias terang-terangan (belum ada ikatan resmi”nikah”), kemana-mana sudah selayak pasutri, bahkan busana yang dikenakannyapun sudah senada (sama), maka disini tentu akan timbul pertanyaan, apakah selayaknya jika melakukan hal demikian? Sungguh ironi memang, namun itulah kawan, kenyataan yang harus kita dapati diera sekarang ini, sungguh….. kemanakah rasa malu, masih adakah rasa tidak nyaman jika itu terus kita jumpai pada kawan-kawan? Ketika kita lantang meneriakkan kebenaran, meneriakkan kritikan pedas pada orang lain akan tetapi dibalik itu kita lupa menengok, menoleh bahwa diri kita juga masih perlu di reformasi, intropeksi. Bagaikan menelan buah simalakama, berbuat baik saja masih akan selalu dapat kritikan apalagi berbuat yang kurang baik bahkan tidak baik. Sehingga 2 hal yang selayaknya menjadi di ingat :

1. Motor penggerak

2. Suri tauladan

Senantiasa control diri, dalam kehidupan sehari-hari, mengawal kebijakan-kebijakan yang memihak kaum tertindas, kaum lemah, menjadi motivator, suri tauladan bagi mahasiswa lain bahkan mahasiswa diluar kampus sampai masyarakat pada umumnya akan citra sebagai seorang mahasiswa akan senantiasa terjaga nama baiknya, bahkan nama baik almamater yang disandangnya. Memang tidak mudah kawan, akan tetapi selagi ada kemauan, kemampuan tentu disamping itu akan ada jalan yang terbaik. Seperti kata bijak mengatakan “melakukan sesuatu yang baik itu lebih baik daripada mengucapkan sesuatu yang terbaik”(Jose). Maka dari itulah mari bersama saling ingat mengingatkan ,dipundak kitalah masa depan negeri ini akan diembankan. Sebagai generasi penerus bangsa yang besar ini tentunya senantiasa berbenah dan menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menjadi generasi penerus yang dapat menjadi suri tauladan yang baik untuk generasi-generasi selanjutnya. Tanggap akan isu-isu yang berkembang, jangan gegabah menghadapi berbagai isu dan gejolak yang timbul. Lakukanlah dengan niatan baik, tulus dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan amanah yang diemban. Jika ada hal yang mudah untuk diselesaikan jangan malah dipersulit, mahasiswa bukan untuk menentukan benar dan salahnya akan tetapi mencari kebenaran yang seharusnya didapat, dengan tetap dilakukan secara baik. Mahasiswa jangan hanya diam, jangan hanya mampu membesar-besarkan rasa iri, permusuhan akan tetapi dituntut juga untuk saling control, adanya “asah, asih, asuh”. Gunakan akal fikiran yang jernih dalam mensikapi berbagai masalah yang timbul. “hati boleh panas tapi fikiran tetap dingin(jernih)”. Kepada mahasiswa baru selamat anda adalah orang yang terpilih, semoga menjadi orang yang berguna bagi sesama. Jangan mudah terpengaruh mengikuti hal yang tidak bermanfa’at bahkan merugikan diri dan orang lain.

Nikmatnya Menjadi Aktivis Kampus....!!!!!

Sehabis membaca notes dari seorang aktivis berintelektual, saya termenung. Saya memutar kembali memori saat masih tinggal di Salemba dan ‘dipaksa’ untuk pindah ke Bekasi karena keadaan lingkungan yang amat tidak memungkinkan saat itu. Masih tergambar jelas di benak saya tentang kerusuhan pada peristiwa 1998 yang menewaskan rekan-rekan mahasiswa, sang pahlawan revolusi. Saya bergedik saat mengingat umur saya yang masih sangat kecil, tapi harus berpacu dengan waktu untuk berjaga-jaga menghadapi ‘serangan’ yang kapan saja bisa terjadi. Dan juga setiap malam yang penuh cekaman karena ayah dan para tetangga terus berjaga-jaga, sampai pada akhirnya, ayah memutuskan untuk memindahkan kami ke kota Bekasi, menurut ayah saat itu merupakan daerah yang aman untuk ditempat demi menjaga mental dan pertumbuhan anak-anaknya. Yang saya ingat, ibu baru saja melahirkan adik saya yang berusia kurang dari dua minggu.


Kini, bukan ketakutan lagi yang ada di hati saya jika mengingat peristiwa itu. Semangat mahasiswa saat itu sangat tinggi. Semangat mereka untuk Indonesia yang lebih baik, semangat mereka untuk menggulingkan orde baru dan menaikkan demokrasi. Mereka rela mati demi memajukan Indonesia yang lebih baik.

Apakah hasil dari perjuangan mereka ? hasilnya adalah KITA !! kita bisa menikmati indahnya demokrasi tanpa takut merasa terbatasi. Kita memiliki hak untuk berbicara dan berpendapat, tanpa takut ‘ditangkap’. Kita, adalah para penyambung lidah rakyat ! kita, generasi penerus bangsa !!

Namun, letupan semangat itu mulai pudar saat ini. Banyak mahasiswa yang hanya menjadi kupu-kupu alias kuliah-pulang-kuliah-pulang. Sedikit dari mereka yang mau menikmati indahnya beraktivis di dunia kampus. Di pikiran mereka hanya IP, IP, IP, dan IP !!

Saya teringat pesan seorang rektor universitas negeri ternama pada mahasiswanya sewaktu ospek “jika kalian masuk kampus ini hanya untuk mengejar IP, saya anggap kalian ini hanya SAMPAH !!” kata-kata yang sungguh keras, namun jika orang yang mendengar mengerti apa yang dimaksud, niscaya, kata-kata itu adalah sebuah motivasi untuk kita.

Saya sangat menikmati kehidupan saya menjadi seorang aktivis dalam kampus saya. Banyak yang bisa saya dapatkan ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang aktivis. Serunya mengerjakan tugas aktivis saat yang lain sedang libur, serunya membagi waktu antara tugas sebagai aktivis dengan tugas sebagai mahasiswa, serunya ketika suasana dalam lingkup suatu event menjadi ‘panas’ karena adanya mahasiswa yang menjadi provokasi dalam event tersebut, dan nikmatnya ketika kami mengajukan suatu aspirasi kepada institusi dan berdiskusi hebat dengan institusi demi kepentingan seluruh mahasiswa. Semua itu saya lakukan, tentunya dengan hati yang ikhlas dan senang.

Dari semua yang saya lihat, saya justru melihat banyaknya aktivis yang memiliki nilai akademik yang lebih bagus dan memuaskan dibandingkan dengan mereka yang hanya “kuliah-pulang-kuliah-pulang”. Ternyata, segudang aktivitas mereka bukan membuat mereka semakin lelah dan down, tetapi membuat mereka semakin bersemangat.

Mengapa pada akhirnya saya memutuskan untuk menjadi aktivis ? karena, saya ingin meningkatkan kemampuan softskill saya. Saya tidak ingin menjadi mahasiswa yang hanya mementingkan IP, nilai, dan hardskill, tetapi saya ingin memiliki kemampuan softskill yang banyak saya dapatkan ketika saya memutuskan untuk menjadi aktivis.

Apa yang diharapkan dari seorang mahasiswa yang lulus dari almamaternya ? lulus dengan IP tinggi kah ? kerja di tempat bergengsi ? mendapat uang banyak ? itukah gambaran sukses dimata mahasiswa sekarang ??

Taukah kalian, kawan ? ketika kalian memakai jaket almamater kita, sesungguhnya, banyak jutaan orang diluar sana yang mendoakan kita, menanti kita untuk membuat perubahan yang berarti di negeri ini. Mengharapkan kita yang bisa menggapai asa dan cita mereka, yaitu untuk mengarahkan bangsa kita ini ke arah yang lebih baik.Siapakah mereka itu ? mereka adalah orang-orang yang sebenarnya ingin seperti kita, kawan ! mereka ingin merasakan duduk di bangku perkuliahan ! mereka adalah orang-orang yang selalu tak berdaya atas semua ketidakadilan ! mereka adalah orang-orang yang mengharapkan kita duduk di kursi pemerintahan kelak, dan dapat bertidak adil, bijak, serta jauh dari berbagai hal negatif seperti pemerintahan yang sering mereka lihat saat ini..

Bersyukurkah kalian atas keadaan ini ? bersyukurkah kalian atas kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita ? bersyukurkah kalian karena kalian masih bisa mengecap indahnya pendidikan perkuliahan ? masihkan kalian berkeluh kesah dengan berbagai aturan yang ada di kampus kalian, padahal masih banyak orang diluar sana yang ingin merasakan menjadi ‘kita’ ?

Kawan, sukses tak hanya diraih ketika kalian memiliki IPK yang tinggi, ketika kalian bekerja di tempat bergengsi, ketika kalian bisa mengumpulkan materi yang banyak dengan semua itu. Tidak seperti itu, kawan !! sukses kita adalah ketika kita bisa mewujudkan harapan mereka yang menantikan pengharapan dari kita !

Proteskah kalian dengan pemerintahan sekarang ? jika ya, apa wujud dari ketidakpuasan kalian ? wujudkan ketidakpuasan kalian itu dengan semangat yang tinggi untuk belajar, memiliki akhlak yang baik, memiliki softskil dan wawasan yang luas, serta memiliki rasa cinta yang begitu besar terhadap negeri ini. Saya yakin, semua akan seperti yang kita harapkan jika kita memulai segala sesuatunya dari diri kita sendiri !! karena, sebobrok-bobroknya negeri ini, kita hidup di negeri ini, meminum airnya, menginjak tanahnya, dan memanfaatkan alamnya (Donny Dhirgantoro, 5cm) setiap generasi memiliki kesempatan untuk merubah bangsa ini, tak terkecuali generasi kita saat ini. Yang menjadi pertanyaan, maukah kita mengambil kesempatan itu ?

Kita harus bisa menjadi manusia yang bisa membuat sekeliling kita merasa lega karena kehadiran kita. Kitalah, yang banyak dinanti orang untuk membuat perubahan ini !!

“mimpi saya yang terbesar yang ingin saya laksanakan adalah agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia-manusia biasa’. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai manusia yang normal, sebagai manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda, dan sebagai seorang manusia”