Seseorang, entah siapa namanya dulu pernah berpesan pada saya. Jika anda menjadi seorang aktivis, maka pandangan anda terhadap kehidupan ini akan berbeda. Terutama dalam konteks kehidupan sosial bermasyarakat di masa nanti.
Ternyata, pesan itu selalu teringat di dalam pikiran saya sekarang. Kata-kata itu memang abstrak sebab kata selalu menyimpan maksud absurd apalagi jika kata itu merupakan sesuatu yang belum dirasakan atau dilihat secara nyata. Sama halnya dengan cinta. Kata ini mengandung keabsurdannya karena cinta itu bukanlah sebuah kata benda yang bisa dilihat dan diraba. Cinta menyimpan misterinya sendiri. Dia tidak bisa dilihat, diraba atau ditunjukkan, tapi cinta bisa dirasakan dengan beragam ekspresi di dalamnya. Itulah hakikat sebuah kata absurd yang konon belum bisa terpecahkan hingga sekarang.
Kembali lagi pada konteks awal pembuka tulisan ini. Bagi seorang mahasiswa yang kelak menjadi aktivis. Kata aktivis itu menyimpan konotasi yang beragam dan bermakna. Tergantung bagaimana pengalaman (Term of reference) seseorang ketika mengintepretasikan kata aktivis ini dalam dirinya. Dalam studi komunikasi, kita mengenal adanya teori komunikasi pribadi dimana persepsi seseorang itu ditentukan dari pengalamannya, pengetahuan, informasi dan curios (rasa ingin tahu) terhadap sebuah objek yang ia dengar, lihat dan amati. Maka, ketika membincangkan kata “aktivis mahasiswa”, masing-masing dari kita tentu saja memiliki persepsi yang berbeda-beda tergantung darimana pengalaman kita dan sudut pandang apa yang digunakan ketika membicarakan topik ini.
Aktivis Kampus
Menjadi mahasiswa itu hal luar biasa bagi sebagian masyarakat Indonesia yang notabenenya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jangankan kuliah di sebuah perguruan tinggi, untuk makan sehari saja masyarakat yang kurang beruntung masih menghadapi kesulitan karena tingkat kebutuhan hidup yang makin meninggi saat ini. Karena itu, banyak sebagian diantara kita, atau mungkin teman, saudara, tetangga dan masyarakat sekitar yang tidak mampu menguliahkan anak mereka dengan alasan tak ada biaya kuliah. Nah, dari sinilah kata “beruntung” itu lahir bagi diri anda yang saat ini mengenyam bangku kuliah. Adalah sebuah keberuntungan Orangtua atau mungkin diri anda sendiri mampu menguliahi hingga lulus nanti. Maka, menjadi mahasiswa saja sudah cukup membanggakan apalagi sampai lulus dan menjadi sarjana kemudian mendapat pekerjaan yang bonafide. Jika itu terjadi maka berapa banyak bonus yang Tuhan berikan untuk diri kita.
Namun, kuliah, lulus, menikah, kerja, apakah cukup untuk menikmati hidup yang hanya satu kali ini?? Apakah kita sudah merasa hidup jika apa yang menjadi sebuah kebiasaan yang juga sudah dirasakan oleh ratusan bahkan jutaan orang yang pernah mengalami hal yang sama dengan apa yang kita rasakan sekarang??maksudnya, menjadi mahasiswa, kemudian lulus, bekerja pada sebuah perusahaan, menikah dan seterusnya—merupakan hal biasa yang terjadi dan kita lihat dalam kehidupan orang yang kita kenal. Bukankah hidup mesti berwarna, utamanya ketika kita berproses menjadi manusia khususnya ketika mengenyam bangku kuliah??
Karena itu, kembali ke konteks awal tulisan ini, ada banyak hal yang ketika anda menjadi seorang pegiat sebuah organisasi (aktivis mahasiswa) dunia yang kebanyakan orang lihat, rasakan, dengar dan jalani—berbeda dengan pandangan dunia yang dirasakan oleh aktivis. Bukan berarti sembarang beda. Aktivis kampus adalah mereka yang sejatinya berpedoman pada impian perubahan dan ketinggian ilmu yang melahirkan kebenaran dan kebaikan bagi kehidupan yang secara langsung dan sadar dirinya aktif di dalamnya.
Maka, seorang aktivis merupakan individu yang bergerak dalam organisasi, baik ekstra dan intra kampus yang memiliki kesadaran, kemauan serta kerja keras untuk memperjuangkan sebuah ide, gagasan dan keyakinan akan sebuah kebenaran yang ia peroleh dari kesadaran pengetahuan yang didapatnya melalui buku, perenungan, kajian ataupun diskusi yang melibatkan proses intelektual di dalamya. Contoh populer misalnya Soe Hok Gie. Salah seorang aktivis kampus sekaligus pecinta alam UI. Prototipe aktivis model ini menjadi menarik tatkala alur ceritanya mengusung ide sederhana seorang mahasiswa yang tertarik dengan kondisi sosial masyarakatnya ketika itu dan giat dalam melakukancampaign atas apa yang ia yakini sebagai sebuah kebenaran. Contoh aktivis kampus model inilah yang mendekati ‘kesejatiaan’ seorang aktivis kampus.
Jadi bukan sekedar aktivis kampus yang diidentikkan dengan demonstrasi, rapat, omong sok pintar, dst, tapi ada sebuah nilai dasar yang ia perjuangkan, yakini dan kemudian dipraktikkan dalam kehidupan berorganisasi yang ia ikuti.
Memang harus diakui, suka atau tidak suka, kita dapat membagi dua tipologi aktivis secara sederhana sebagai dasar memasuki dunia aktivis kampus. Pertama, aktivis karbitan alias instan. Pada konteks ini, aktivis dalam kategori ini adalah mereka yang mengklaim dirinya sebagai aktivis kampus atau organisasi tanpa tahu dan mengerti betul apa yang ia lakukan, kerjakan dan tujuan dari apa yang ia lakoni. Biasanya, aktivis ini hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya. Sehingga ketika berkecimpung dalam dunia organisasi terkadang orang type seperti ini lebih banyak merugikan organisasi ketimbang memberikan manfaat pada organisasinya. Secara akademik anjlok dan jatuh. Secara intelektual pas-pasan dan hanya mencari status sosial dalam konteks kampus agar dosen takut padanya karena aktif sebagai aktivis. Tipikal aktivis seperti ini banyak modelnya. Sehingga ketika kelak dirinya memimpin sebuah organisasi, organisasi itu menjadi vakum, ugal-ugalan dan menjauh dari cita-cita serta tujuan daripada organisasi itu berdiri.
Kedua, aktivis akademis. Pada kategori ini, aktivis yang dimaksud adalah mereka yang sejatinya mengerti betul akan kedudukan, status dan fungsi mereka sebagai seorang aktivis. Dirinya sadar sebagai insan akademis dirinya mengedepankan nalar intelektual yang ditumbuhkannya selama ia mengenyam bangku kuliah. Dirinya memahami bahwa perjuangan untuk membangun sebuah peradaban dilakukan melalui proses panjang dan melelahkan. Artinya, dalam setiap tindakan dan pemikiran landasan utama yang dikerjakan melalui kerangka berpikir sistematis, terarah dan berakhir pada happy ending yang menyejukkan. Tidak dengan ugal-ugalan, serampangan dan grasak-grusuk akibat ketiadaan nalar intelektual di dalamnya.
Jenis aktivis seperti ini amat langka kita temui. Namun, bukan berarti tidak ada. Di beberapa organisasi kampus, orang-orang seperti ini bersembunyi di balik wajah kesederhanaan yang dia miliki. Sebab, hal ini muncul akibat tingginya ilmu yang dimiliki. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin merendah diri orang tersebut. Bukan sebaliknya, semakin pintar seseorang, semakin sombong dirinya berhadapan dengan orang lain. Disinilah terletak salah kaprahnya.
Ketika memasuki dunia aktivis kampus, dunia yang seolah bergerak biasa-biasa saja, dengan sudut pandang dari seorang aktivis—kelak berbeda. Perbedaan ini didapat melalui tingginya kesadaran baru dalam melihat, merespon dan menginginkan dunia yang sesuai dengan ide dan perenungan yang dilakukannya. Kesadaran untuk bergerak dan memperjuangkan suatu tatanan dunia yang ideal, dimana keadilan, kesejahteraan, kebaikan—secara naluriah tumbuh di dalam batinnya karena menyadari fungsinya sebagai seorang aktivis mahasiswa.
Dari situlah lahir sebuah keyakinan bahwa mahasiswa adalah agent of social change yang bergerak untuk memperbaharui sebuah konstruksi sosial masyarakat yang lebih berpihak pada kemaslahatan. Yang tadinya acuh terhadap dunia sekitar, kini mulai tersadar bahwa banyak hal yang tidak ideal terjadi. Yang tadinya tidak perduli dengan persoalan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat, perlahan-lahan mulai mengamati dan sesekali bergerak mengkritisi beragam persoalan yang timbul di masyarakat. Lambat laun, dunia yang tadinya dilihat biasa-biasa saja, menjadi berbeda dan luar biasa. Yang tadinya kuliah hanya sekedar kuliah, menjadi lebih bermakna karena ada sebuah pekerjaan besar yang lebih tinggi dan mulia daripada sekedar bekerja pada sebuah perusahaan.
Artinya, timbul sebuah kesadaran dan nilai kehidupan yang sesungguhnya yaitu, “manusia hidup di dunia hakikatnya harus bermanfaat bagi orang sekitarnya, sebab ilmu yang tidak bermanfaat kelak dimintakan pertanggungjawabannya di hari akhir nanti”. Dan ketika berbicara dalam konteks yang lebih religius, seseorang yang tahu, tapi tidak mau tahu, dosanya akan lebih berat ketimbang mereka yang tidak tahu. Sebab, orang yang tahu tapi tidak melakukan apa-apa, berarti dirinya termasuk orang yang sombong dan merugi. Karena itu sama saja dengan mengkhianati kecendekiawanan yang ia miliki (Benda,1995) dan hal tersebut sama dengan orang yang munafik.
Maka dari itu, pesan moral sebagaimana yang telah saya kutipkan pada awal tulisan ini menjadi sebuah inspirasi bagi diri saya sendiri, dan mudah-mudahan anda juga termasuk agar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk aktif menjadi pegiat dan terutama mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam kehidupan bermasyarakat dimanapun anda berada. Sebab, negara ini membutuhkan sumbangsih pemikiran serta kepeduliaan kita semua. Sebagai seorang mahasiswa amat disayangkan jika kita hanya menjadi mahasiswa biasa tanpa ada sesuatu yang “luar biasa” yang bisa kita wariskan pada generasi selanjutnya. Maka, timbul pertanyaan kritis, mau menjadi aktivis kampus atau sekedar mahasiswa biasa yang sudah kebanyakan orang rasakan dan lewati?? Pilihannya ada pada diri anda sendiri.