Apa yang terjadi di Aceh, setelah revolusi berdarah selama puluhan tahun. Bukankah cita-cita revolusi akhirnya tercapai, meskipun bukan cara kekerasan? Bukankah perdamaian pada tahun 2005 adalah sebuah kemenangan bersama, tanpa ada yang dikalahkan? Paling tidak rakyat bergembiri, bahwa rasa dan suasana damai telah terwujud, setelah puluhan tahun yang lalu selalu dalam keadaan tertekan, terdhalimi, dan “terjajah” dinegeri sendiri.
Revolusi damai 2005 juga telah mengubah wajah perpolitikan dan kekuasaan di Aceh. Jika sebelumnya yang berkuasa “dianggap” perpanjangan tangan pemerintah Jakarta, kini telah berubah. Mayoritas penguasa baru di Aceh telah di”genggam” oleh para mantan “pemberontak”. Pemberontak yang berjuang melawan ketidakadilan, dan menjanjikan akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. “menjoe nanggroe njoe tamat lam jaroe droe teuh, njan ube na jalan ta peugot dari meuh”. Begitu kata seorang juru dahwah disebuah Balee Kecil pinggir sawah pada awal 2000an.
Benarkan kata-kata yang pernah membuat rakyat “bergelora” untuk berjuang bersama-sama itu telah diwujudkan? Bukankah kekuasaan itu telah berada dalam “jaroe droe teuh”? Adakah sebutir telor yang diberikan rakyat dulu dengan resiko kehilangan nyawa telah terbayarkan? Adakah yang pernah dikatakan oleh Che bahwa saya akan ada dan selalu bersama rakyat yang terdhalimi, dan ketidakadilan diterapkan, dimanapun mereka berada? Atau sebaliknya, seperti dikatakan oleh Marx bahwa politik, hukum dan moralitas bukanlah hal yang menjadi prinsip. Namun itu hanya sebagai alat bagi para elite kekuasaan untuk memelihara kekuasaan mereka.
Dalam beberapa waktu yang lalu, seorang rakyat yang ikut menyampaikan aspirasinya mengeluh karena sikap dan prilaku salah satu anggota dewan yang dianggap sombong dan angkuh. Keangkuhan karena menganggap para demontran bukan rakyat Aceh, hanya karena tidak terlalu paham bahasa Aceh. Bukankah bangsa Aceh adalah gabungan dari berbagai etnis bangsa? Bukankah salah satu kesombongan Hilter karena merasa bangsa Aria sebagai bangsa yang paling hebat didunia, sehingga harus “membantai” etnis bangsa lainnya?
Sebagai penutup, penulis ingin mengatakan bahwa kekuasaan dan politik seharusnya harus dibangun dengan selalu memberikan pendidikan politik, sosial, dan ekonomi terhadap rakyat. Bukan sebaliknya memperlihatkan keangkuhan dan tindakan bodoh lainnya. “Apakah kamu ingin mengotori perjuangan yang baru saja berhasil beberapa menit, dengan membuat kedhaliman baru? Kalau perlu kita berjalan kaki ke Havana, kembalikan!!”
awas kebakar ketua..
BalasHapushehehhe